en id

Mendesak, Bandara Alternatif Yogyakarta

24 Jul 2015

kembali ke list


Jakarta (24/07) - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendorong pemerintah provinsi agar tetap mencari solusi tepat dan tepat terkait kelanjutan pembangunan bandara baru di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY). Saat ini, kondisi Bandara Adisutjipto dinilai sudah terlalu padat guna menampung aktivitas penerbangan yang ada. Jadi, alternatif sangat dibutuhkan. Menurut data PT Angkasa Pura I selaku operator kapasitas eksisting Bandara Adisutjipto hanya untuk menampung 1,2 juta penumpang per tahun. Namun sepanjang 2014, tercatat sudah 6,7 juta penumpang yang hulir mudik di bandara tersebut.Sayangnya, rencana pembangunan bandara baru di Kulonprogo sebagai pengganti di Yogyakarta mendapat penolakana sebagian masyarakat setempat. Pemerintah Daerah (Pemda) DIY pun kalah dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.

“Kami tetap mendorong Pemprov DIY melakukan kasasi. Namun mengenai pelaksanaannya, itu terserah mereka, memang akan menempuh banding atau mau mencari lokasi baru. Hal ini sudah di sampaikan Menhub (Menteri Perhubungan) Ignasius Jonan,” tutur Staf Khusus Menhub Bidang Keterbukaan Informasi, Hadi Mustofa Zuraid, kepada SH, Rabu (22/7) sore. Ia mengungkapkan, jika menunggu kasasi, prosesnya tidak bisa secepat yang diharapkan. Padahal, layanan kebandarudaraan harus terus berjalan normal, dengan tetap memperhatikan kebutuhan yang ada. Karena itulah, Hadi melanjutkan, menhub meminta PT Angkasa Pura I mengoptimalkan dahulu bandara eksisting Adisutjipto saat ini. Pertama, dengan memindahkan sebagian besar gerai komersial ke lokasi di luar terminal. Ini agar ruang publik jauh lebih memadai. Dengan demikian, penumpang merasa lebih nyaman.

Kedua, Angkasa Pura I harus segera mengoperasikan Terminal B yang sudah selesai dibangun dan segera menyiapkan fasilitas koneksinya dengan terminal eksisiting. Pihak Angkasa Pura I dikabarkan baru mengoperasikannya pada September karena masih menunggu kesiapan Bea Cukai, Imigrasi, dan maskapai. “Menhub minta pengoperasian terminal B dipercepat,” ujar Hadi. Ketiga, menhub meminta Angkasa Pura I bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) untuk membuat underpass  di bawah rel depan terminal bandara. Ini sebagai akses masuk dan keluar kendaraan dari bandara.  “Menhub sudah menelepon menpupera. Dia telah setuju untuk menganggarkannya pada 2016,” ucap Hadi.

Sebelumnya, PT Angkasa Pura I mengaku belum bisa melakukan pembebasan tanah untuk membangun bandara baru di Kulonprogo, Yogyakarta, sebagai pengganti Bandara Adisutjipto. Direktur Utama PT Angkasa Pura I, Sulityo Wimbo Hardjitu mengatakan, masih ada 200 penduduk yang tidak menyetujui pembangunan bandara tersebut dengan tidak memberikan lahannya. Wimbo menyebutkan, kalaupun menunggu putusan kasasi, diperkirakan baru selesai pada Oktober atau november. Jadi, pembebasan lahan tidak bisa dilaksanakan tahun ini.

Pemetaan lokasi bandara seluas 260.000 hektare itu diprediksi rampung pada akhir tahun. Setelah tahapan itu selesai. Angkasa Pura I harus menuntaskan penetapan lahan., sosialisasi kepada masyarakat, dan penetapan harga tanah berdasarkan appraisal. “Ya kalau diterima (penyelesaian bandara). Kalau tidak, kan dia bisa lakukan gugatan lagi,” ujarnya. Padahal PT Angkasa Pura I telah menyiapkan anggaran untuk membangun bandara yang rencananya dibangun dekat area pesisisr selatan tersebut dengan nilai Rp 7 triliun. General Manager (GM) PT Angkasa Pura I Persero Bandara Adisutjipto, Andi G Wirson, kembali mengingatkan pentingnya pembangunan bandara baru di Kulonprogo. “Dengan kondisi kepadatan saat ini, mudah-mudahan didengar juga saudara kita di Kulonprogo yang menolak (pembangunan bandara baru). Saya mengimbau saudara-saudara di Kulonprogo supaya mengerti. Ini untuk kepentingan bersama, keselamatan bersama, dan kemajuan daerah Kulonprogo,” tuturnya. Opsi perluasan bandara juga sudah tidak bisa diambil karena tidak ada lahan untuk membesarkan bandara. Bahkan karena sudah terlalu padatnya Bandara Adisutjipto, Angkasa Pura I harus menolak tambahan hingga 20 penerbangan. [Dhika, Sumber : Sinar Harapan]